Jumat, 25 Desember 2009

Intelektual Muda Bertasawuf? Kenapa Tidak!

E-mail Cetak PDF
Disadari atau tidak, saudara-saudara kita yang datang untuk belajar dzikir kepada wali mursyid Pangersa Abah Anom dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori:
Pertama, adalah orang-orang yang datang kepada Pangersa Abah dengan membawa segudang masalah, diantara mereka memiliki masalah dengan ketergantungan pada narkoba, tidak sedikit yang memiliki masalah dengan kesehatan fisik dan mentalnya, masalah rumah tangga seumpama belum punya pasangan, baru bercerai, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain. Juga banyak yang memiliki masalah ekonomi, semisal baru di-PHK dari kantornya, salah mengurus perusahaan hingga menjadi bangkrut, problem dengan teman kerja dan atasan dan sebagainya. Banyak juga diantara mereka yang datang kepada Pangersa Abah untuk mempertahankan posisinya di kantor atau organisasi agar tetap dalam posisi itu, atau yang sedang mengejar-ngejar posisi atau jabatan tertentu.
Kedua, orang yang datang kepada Pangersa Abah karena ia memang berlatar belakang santri. Di kalangan santri tradisional biasanya belum lengkap jika ilmu-ilmu yang sudah ada padanya tanpa dilengkapi ilmu batin. Entah untuk sekadar olah kanuragan atau memang ia sudah terbiasa merafalkan wirid-wirid. Sehingga dengan tambahan wirid dari Pangersa Abah Anom diantara mereka ada yang meningkat kepercayaan dirinya.
Terakhir, orang yang datang kepada Pangersa Abah yang memang sedang dalam proses pencarian spiritual. Diantara mereka datang kepada Pangersa Abah karena baru saja mengalami pengalaman spiritual tertentu yang dalam proses selanjutnya merasa harus menemui Pangersa Abah atas dorongan pengalaman spiritual itu. Atau yang datang kepada Pangersa Abah atas dorongan proses studi intelektualitas. Mereka melakukan penelitian ilmiah secara intensif mengenai ajaran Pangersa Abah dan komunitas yang beliau pimpin, yang pada akhirnya membawa mereka pada pengalaman-pengalaman batin yang menyejukkan. Pun orang yang datang kepada Pangersa Abah atas dorongan tambahan bekal untuk pengembangan dakwah islamiyah di masyarakat.
Berbagai solusi pun diberikan Pangersa Abah, disesuaikan dengan niatan awal orang-orang yang datang kepada beliau. Untuk golongan pertama cocok untuk mereka solusi pragmatis yang bersifat instan dan hal-hal ajaib. Untuk golongan kedua solusi yang membawa pada ketentraman batin tepat sekali. Sedangkan untuk golongan ketiga mereka akan merasakan jawaban-jawaban substansial atas pertanyaan-pertanyaan selama ini melalui proses pencarian hakikat dengan mempraktekkan seluruh ajaran dari Pangersa Abah.
Memperhatikan ketiga kategori ini maka segmen dakwah TQN pun mengkristal pada kalangan-kalangan sebagai berikut:
  • Masyarakat Awam
  • Pelajar dan Mahasiswa
  • Tokoh-tokoh yang berpengaruh di masyarakat
  • Ilmuwan dan Profesional
Diibaratkan sebuah piramida, kalangan pertama adalah kalangan yang paling banyak dan berada pada lapisan terbawah, lapisan diatasnya jumlahnya agak lebih sedikit dibanding yang pertama. Diatasnya lagi kelompok ketiga. Posisi teratas ditempati oleh kelompok keempat. Untuk memperkokoh, memperluas dan meningkatkan bangunan piramida, kita harus mempertinggi puncak dan memperluas landasannya. Agar dakwah TQN semakin meluas dan diterima seluruh kelompok masyarakat, kita harus banyak menjaring keempat kelompok diatas.
Kelompok pertama adalah kelompok yang banyak berdatangan kepada Pangersa Abah tanpa melalui proses ‘penjaringan’ tertentu. Mereka bisa datang langsung dan belajar dzikir dilatarbelakangi oleh berbagai masalah yang mereka hadapi. Sedangkan tiga kelompok sisanya memerlukan pendekatan yang bersifat ilmiah dan rasional. Untuk ketiga kelompok inilah program dakwah TQN Jakarta difokuskan.
Agar dakwah TQN mampu menembus tiga kelompok ini maka para muballigh-muballighah TQN butuh pembekalan yang konstruktif, kolektif dan tepat sasaran. Untuk itu perlu berbagai pelatihan bagi para muballigh-muballighah dalam rangka pembekalan itu, semisal pelatihan dakwah transformatif, pelatihan imam khataman dan petugas manaqib, pelatihan-pelatihan yang bersifat peningkatan wawasan keagamaan, pelatihan-pelatihan bersifat psikologi semacam hypnotherapy, NLP, Spiritual Thinking dan lain-lain.
Gerakan dakwah yang menembus kalangan pelajar SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi sudah banyak dilakukan oleh kalangan aktivis islam dari berbagai macam organisasi. Mereka masuk melalui badan kerohanian Islam (rohis) di sekolah-sekolah atau kampus. Mereka berikan doktrin-doktrin keagamaan yang beragam, dari yang lembut hingga yang paling ekstrim. Dari hasil binaan melalui rohis ini banyak hal-hal positif bermunculan. Tidak sedikit kaum muda yang bergabung dalam rohis pengetahuan keagamaannya semakin meningkat. Bahkan tidak jarang diantara mereka menjadi aktivis dakwah sehingga bermunculan kader-kader dakwah yang berkelanjutan.
Sayangnya, gerakan ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai agenda dan idealisme tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebhinekaan dan persatuan nasional. Alhasil, belum lama ini kita saksikan dalam pemberitaan di media-media nasional bahwa eksekutor bom berdaya ledak tinggi di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009 lalu adalah anak-anak muda yang baru saja lulus SLTA. Mirisnya, kedua eksekutor ini adalah aktivis kegiatan islam di lingkungannya masing-masing.
Menyikapi fenomena tersebut Korwil Jakarta merasa terpanggil untuk membenahi pola pembinaan islam pada kader-kader muda yang potensial ini. Jika kelompok-kelompok ekstrim mampu masuk ke kalangan mereka, mengapa tasawuf tidak? Tentu harus dipikirkan pola apa yang cocok agar kalangan pelajar dan mahasiswa mampu memahami ajaran tasawuf.
Pelatihan semisal kursus tasawuf tingkat dasar untuk para ikhwan-akhwat pemula dan yang belum pernah talqin dzikir kiranya cocok untuk menjaring kelompok pelajar dan mahasiswa. Hal ini pernah diujicobakan kepada mereka melalui program Pesantren Qalbu di beberapa SMP Negeri di Jakarta Pusat, SMK Negeri di Jakarta Utara dan beberapa kampus di Jakarta Pusat dan Utara. Hasilnya cukup memuaskan. Paling tidak mereka memahami bahwa sesungguhnya ada hal lain selain kajian fiqih dan aqidah dalam Islam, yakni ketasawufan yang merupakan inti dari pengamalan keislaman.
Tentu saja ini perlu disebarluaskan dan ditingkatkan kuantitasnya di berbagai belahan wilayah kota di DKI Jakarta. Karena itu pula, tepat sekali apabila kursus-kursus singkat dasar ketasawufan ini diperkenalkan kepada sekolah-sekolah tingkat SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi dengan promosi yang gencar dan terintegrasi. Perlu diingat, pola penyampaiannya pun harus disesuaikan dengan bahasa yang mereka fahami. Dengan demikian akan semakin banyak kalangan pelajar dan intelektual muda yang familiar dengan tasawuf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar